PEJUANG PURNAMA
Tanggal lima belas bulannya bulan,
merekah gemilang senyuman langit oleh rasi bintang dan ratu malam. Malam
terindah kala kesedihan menepis sendirinya menjauh dari setiap hati manusia.
Kau tahu lagu ketika kecil dahulu, ketika purnama datang, kami orang desa
berbahagia, sebab cahaya adalah hal yang sulit didapat. Kala sang mentari mulai
lelah, Jingga semburat dari barat mengusir kami dari jalanan, untuk segera
berada dalam gubuk yang ku bilang surga. Tetapi tidak pada setiap purnama,
anak-anak selalu nantikan ini, menambahkan cahaya malam dengan riuhnya suara
mereka berkejar-kejaran, bernadakan ceria setelah ketakutan. Para bapak dan ibu
menggelar mendong lusuh di atas tanah sejuk, mengawasi anaknya dengan kudapan
telo bakar ditemani kopi panas.
Merindukan kampung halaman setiap
kali purnama menyapa malamku. Seperti enggan ku beranjak dari balkon asrama,
memutar kembali sketsa kenangan bersama keluargaku di kampung. Sungguh ketika
waktu izinkanku pulang, aku ingin sekarang. Tangan ku menengadah, “Ya Allah, segerakan
aku untuk bisa mengunjungi tanah kelahiranku”. “Aamiin...”, suara itu membuat
jantung berdetak lebih cepat. “Ahh, kau Yohan, tak kah kau sapaku dengan salam
dulu, hobimu mengagetkanku saja”, “Hahaha..., Kau pun belum bisa memahamiku,
betapa bahagianya melihat wajahmu membiru seperti itu.”, “Apa, jadi kau
berbahagia jika aku menderita, kau sebut kita sahabat selama ini ?”, “Haha..
bercanda kawan, kau terlihat serius menatap purnama itu, apa kau melihat
permata ada disana ?”. “Kau ini bisa saja, disanalah aku melihat kenangan
indahku dulu, memaksaku bergulat dengan hati untuk bersabar menunggu ku untuk
pulang”. “Apa kau tak betah disini ?”, “Bukan, Aku telah mencintai Pondok ini,
hanya saja aku merasa rindu dengan mereka yang dikampung”.”Kasihan benar
kawanku ini, aku tak bisa berbuat banyak, ini barangkali bisa sedikit
meringankan hatimu”, “Wah, Sukron katsiron han, kau benar kawan
sejatiku”,”Benarlah, sekadar ketela goreng senyumu merekah seperti bulan itu”,
Hehe..
Malam yang panjang ku lalui bersama
kawanku dari malaysia ini. Sembilan tahun sudah aku berada di Building School
tepatnya di Malang, kota apel nan sejuk. Kecilku saat kelas 3 SD pindah sekolah
umum ke Pondok, hanya satu alasan saat itu aku melihat seorang kakak yang
memakai baju sangat rapi, wajahnya ramah, wah pokoknya keren. Ternyata dia sekolah
di pondok, jadi aku bulatkan tekad untuk bisa sekolah di Pondok tercinta ini.
Banyak hal aku temui dalam keluasan rumah yang indah ini, teman dari sabang
hingga merauke, bahkan yohan ini berasal dari Malaysia. Awal itu memang sulit,
tetapi waktu akan membiasakan kita pada kenyamanan yang kita inginkan. Bukan
sebuah penjara yang menakutkan seperti yang banyak orang bayangkan, inilah aku
bahagia bersama Tahajud, Tadarus, Hafalan surat Al-Qur’an, Alhamdulillah
Tahfidz sudah ku gapai, Dhuha, puasa senin kamis, belajar bahasa inggris,
bahasa jepang juga bahasa arab. Sebuah niat dan tekad itu mengalahkan segala
yang akan menghambat kesuksessan. Aku mendapatkan lebih dari sekedar yang ku
bayangkan.
Aku sungguh mencintai dunia ini,
dunia pondok dan segala yang ada didalamnya. Tetapi inilah tiba waktu yang
kurindukan saat itu, ujian akhir kelas tigaku akan segera selesai, aku harus
bersungguh-sungguh agar aku bisa lulus dan pulang kepada Ibunda. Belajar keras,
tak lupa berdo’a setiap sepertigamalam agar Allah berikan kelancaran. Ku
bersiap untuk hari ini mengikuti ujian tahfidz sebagai akhir dari rangkaian
pelepasan siswa kelas tiga,”Semangat Faruq, aku yakin kau berhasil”, Ya itu
Yohan lagi, berusaha menyemangatiku yang telah berhasil lebih dahulu mengakhiri
masanya di pondok. Tak lama kemudian namaku dipanggil “Muhammad Habib
Al-Faruqqi”. “Bismillah Ya Allah, semoga lancar, Aamiin”.
Tak lama aku berada didalam ruang
ujian, Alhamdulillah ucapan selamat dari Ustadz Zakaria mengantarkanku
pencapaian yang luar biasa, Alhamdulillah peringkat 1 angkatan ke 65 tahun ini.
Takku bisa berhenti bersyukur atas segala yang Allah berikan kepadaku, kan ku
bawa pulang, ku hadiahkan kepada Ayah dan Ibuku. Haru biru memenuhi suasana
Pondok tercinta, dibalik mobil putih itu, dua malaikat yang Allah anugerahkan
kepadaku menjemput kepulanganku, dialah Ayah dan Ibu. Rindu seketika lenyap
karena pelukan hangat dari mereka. “Ayah bangga nak, Faruq tumbuh menjadi manusia
yang bermanfaat !” menepuk pundakku tanda bahagianya atas keberhasilanku. “Ibu
tak pernah lupa do’akanmu nak..”, Itulah ibu, do’anya menembus langit ketujuh.
Terima kasih Ayah, Ibu, ini keridhoan Allah atas keridhoan kalian.
Aku telah lulus, dan ku putusakan
untuk kembali ke kampung halaman Ponorogo tercinta. Berat rasanya meninggalkan
Yohan disini, karena dia masih harus meneruskan belajarnya di Pondok sampai
kelas 6 nanti. “Hai, Yohan, maafkan jika salahku banyak kepadamu, Jangan
berusaha melupakan aku ya...”, “Kau tega meninggalkanku, Siapa nanti yang akan
menjadi tempat usilku ?”, “Haha.. masih saja kau ingin melanjutkan usilmu, aku
harap setelah aku pulang nanti, usilmu akan lenyap”,”Haha, kau ini... baiklah
jaga dirimu baik-baik kawan, jangan lupa kabari aku setiap hari”, “Berlebihan
kau, tapi baiklah untukmu wahai sahabatku, sampai jumpa.”. Ini mungkin akhir
perjumpaanku dengannya, harapan penuh bisa bertemu dengan kesuksessan
masing-masing suatu saat nanti. Aamiin Ya Allah.
*********************************************************
Perjalanan yang menguras tenaga,
alhamdulillah sampai pada rumah kelahiranku. Tersenyumku tak henti melihat
bayangan kenangan disekitar rumah lalu, meski ada beberapa renovasi itu, tak
mengubah segala kenangan yang ada. Kusapu seluruh ruangan, sampai pada anak
perempuan berhijab. “Hai Abang, apa kau benar abangku..?”, “Apalah kau ini
Nasya, tak ucap salamkah ?”, “Ah Abang, harusnya abang yang salam sama
Nasya”,”Baiklah... Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh Nasya
cantik...”,” Wa’alaikumsalam Abangku, apa yang kau bawa untuk ku bang ?”,”Ehh,
enak aja.. ini buat bunda.”,”Abang pelit, sama adik sediri
teganya...”,”Hahaha.. gitu aja cemberut, ini nih jilbab sama mukena buat adik
Nisya”,”Nah gitu .. baru abang faruq yang terbaik”.”Iyalah.. iya..”,”Sudah
sudah, baru bertemu sudah bertengkar, ayo makan dulu, tadi ibu beli ikan nila
kesukaan Nisya”,”Yee.. asyik..”, “Eh abang ayo makan”, “Berlagak manis kau,
baiklah abang kekamar dulu, nanti abang nyusul”. Terlepas sudah kerinduanku
dengan keluarga sakinah ini, makan malam bersama mereka yang pertama setelah
kepulanganku.
Maghrib menjelang, bersiapku pergi
ke masjid dekat rumah. Semua terlihat sungguh berbeda dari sepuluh tahun yang
lalu, rumah-rumah telah rapi dan indah. Kukira banyak penghuni desa ini, kenapa
tak terlihat anak-anak yang hendak ke masjid. Bismillah, Adzan pertamaku di
masjid ini. Usai sholat maghrib, ada yang mengganjal dalam hatiku saat sholat
tadi, tak banyak shaff terpenuhi, hanya aku, ayahku dan delapan jama’ah lanjut
usia. “Ayah, perasaan rumah disekitar masjid banyak, kemana orang – orang tidak
ke masjid ?”,ayah hanya tersenyum, sambil pulang kerumah, ayah mengajakku
bersilaturahim kerumah Ustadz Zaki, beliau baru pindah di kampung ini, sebagai pengabdi
guru sekolah di SMA swasta berbasis islam di Ponorogo. Ayah bermaksud
mendaftarkanku sekolah SMA disana, sebab banyak teman ayah disana. “Baiklah,
Faruq, besok ikut ustadz untuk sekolah ya ?”,”Baik ustadz, terimakasih banyak”.
Malam purnama lagi, dirumah ku
menikmati keindahannya lagi, entahlah tetapi ini tak seperti biasanya, aku
merasakan sepi dan tak banyak bergaul dengan tetangga. Masih sehari pulang,
belum juga melihat Ghifar teman kecilku. Tetapi aku segera teringat, esok aku
akan sekolah, baiknya aku persiapkan sekarang. Tas, buku, dan seragam baru, semoga
menjadi ghirohku perjuangkan kesuksesan, Aamiin. Seperti biasa, tadarus
beberapa lembar sebelum tidur.
Pagi yang indah, disambut hangatnya
matahari malu malu keluar dibalik gunung wilis. Siapku berangkat kesekolah baru
bersama ustadz Zaki. Lumayan jauh dari rumah, sekitar 20 menit perjalanan
mobil. Tetapi tak mengurangi semangat di hati. Sekolah yang cukup bagus
ditengah kota kecil Ponorogo. Kesan yang indah diawal ku sekolah. Kawan kelasku
ramah. Ternyata Ghifar menjadi teman sebangkuku, tak menyangka aku masih bisa
bertemu dengannya. “Subhanallah Faruq ?”, dia sedikit kaget melihat
perubahanku, “Iya far, masa iya lupa, Syukur deh aku bisa sekelas sama kamu
berjuang bareng-bareng, kau tambah tampan setelah SMA”.”Iyalah, Ghifar”,”Iya..
iya..”. Aku melihat seluruh manusia didalam kelas ini. Wajah yang bercahaya
juga bersahabat.
Waktu istirahat adalah yang ditunggu
para siswa, berhamburan keluar menuju kantin dan koperasi sekolah, maklum
mungkim mereka belum sarapan. Sebenarnya hari senin dan aku puasa, sehingga ku
putuskan bertolak ke masjid untuk dhuha. Terbiasa banyak orang di masjid pondok
dulu, tetapi disini terlihat sangat lenggang, hinggaku leluasa memilih shaff
ternyaman untuk dhuha, 4 rakaat hanya lima belas menit jam istirahat pertama.
Belum selesai ku berdo’a bel jam masuk sudah menyudahi do’aku. Sungguh sayang
masjid sebesar ini, namun sedikit yang meneranginya. Sepertinya aku melihat
sebuah permata yang terburu-buru memakai sepatu, sepertinya dia juga usai
dhuha. Alhamdulillah masih ada yang peduli. Bergegasku ke kelas, mengikuti
pelajaran selanjutnya.
Sedikit terpaku mataku pada sosok
permata yang kulihat di masjid tadi, dia teman sekelas ternyata. Mata dan
senyumnya berbinar, hijabnya lebih panjang dari yang lain, siapa nama dibalik
senyum itu ?. “Hai Muhammad Habin Al-Faruqqi, melamun saja kau ini, siapa
gerangan yang kau lihat itu ?, Apa kau melihat Shofi?, suara Ghifar membuyarkan
lamunanku. “Apa kau ini, aku hanya melamun, jadi dia yang bernama shofi ?”,”Tak
usahlah kau pungkiri, benar dia Shofi, tetanggaku”.”Dekat denganmu ?”,”Iyalah,
kita selalu berangkat sekolah bersama”,”Apa kau menyukainya ?”,”tentu !”,
seketika sedikit sakit di dada ini. “Dia masih saudaraku Faruq”,”Alhamdulillah,
Eh, hmm.. belajar belajar”. Ada kesalahtingkahan yang ku alami ketika mendengar
namanya, entahlah dia seorang permata. Baiknya dia terjaga dari hal-hal yang
buruk.
Cepat rasanya sekolah hari ini, aku
segera pulang bersama ghifar, juga permata yang bernama Shofi itu. Perjalanan
kerumah cukup menjadikan kita bertiga semakin akrab, meski sedikit canggung
dengan Shofi, yang hanya membalas gurauanku dengan Ghifar dengan senyuman.
Mereka cukup mengerti dengan keadaan kampung rumahku yang mengkhawatirkan,
sebab jarang orang yang pergi kemasjid atau sekedar mengucap salam ketika
bertemu. Banyak perubahan memang yang terjadi, membuatku sedikit sedih dan inilah
kita harus bergerak. Tetapi apa yang bisa ku lakukan ?. setelah melalui pikir
panjang dan serius, shofi mengajukan usulnya, “gimana kalau kita mengajarkan
mengaji anak-anak kecil sekitar, mereka kan calon penerus jadi ya perlu
dibimbing”,”Bagus itu, bisa dicoba nanti ba’da maghrib”, Ghifar setuju, “Apa
ada yang mau ikut ?”,”Kita belum melakukannya, jangan pesimis dulu”,”Baiklah,
nanti ba’da maghrib, semoga banyak anak-anaknya”.
Rencana
kecil kita pertama, Mengajarkan ngaji Iqro’ dan Al-Qur’an kepada anak-anak
sekitar kampung. Kukira hidayah itu sungguh merasuk setiap anak yag
melangkahkan kakinya menuju masjid Darrul Muttaqin ini, Tak banyak sebenarnya,
tetapi 10 anak menjadikanku lebih semangat lagi menyiarkan ilmu yang pernahku
dapat di pondok. Senang melihat wajah Ghifar dan Shofi juga bersemangat,
begitupun suara lucu anak-anak yang diajarkannya mengaji, sungguh tentram hati
ini. Bukan sesuatu yang mudah berjalan di lintasan taqwa, penuh duri apabila
kita lengah maka kaki kita akan terluka. Seperti itulah perjuangan kita
bertiga, ketika seorang wali santri yang merespon tidak baik atas kegiatan ini,
beliau menganggap anaknya menjadi kurang rajin belajar ketika mengikuti tadarus
di masjid. Tentu kami menjelaskannya dengan sabar, tetapi alhamdulillah sudah
purnama kelima ngaji inibisa berjalan.
Ayahku
berusaha memberikan manfaat juga kepada tetangga, ketika anak-anak telah sadar
akan islam, tentulah seorang orang tua harus lebih paham dengan islam. Ketika
malam ini adalah purnama, cahayanya menerangi setiap sudut kegelapan bumi
kampungku. “Yah, seperti dulu ketika purnama datang kita sekampung berkumpul
dan bermain”,”Ide bagus nak, bagaimana ketika kita gelar tikar banyak orang
yang datang dan senantiasa mengingat Allah, hanya bulan purnama,bukankah itutidak
menyulitkan mereka ?”,” Ayo Yah, segera kita lakukan, meski ini belum terbiasa,
tetapi waktu akan membiasakan kita”. Segera aku, ayah dan mengajak ustadz Zaki
merealisasikan Pengajian Purnama.
Ditemani
Ghifar, Shofi dan adikku Nasya, kami membantu Ayah menyiapkan pengajian ini.
Menyiapkan sedikit bingkisan kepada para jamaah yang ikut, tetapi nyatanya
jamaahnya lebih sedikit lagi. Rasa kecewa mesti ada, tetapi ayah menepisnya
dengan senyuman. Tak putus asa, kami mencari cara agar minimal semua warga kampung
mau ikut bergelar tikar ini. Mulai mendatangi setiap rumah, terkadang ada yang
berpura-pura tidak ada di rumah untuk sekedar melihat kita. Kemudian
menyebarkan dengan brosur, mengajak teman kelas, atau guru. Alhamdulillah
sedikit demi sedikit kesusah payahan di awal tertepis, tak sedikit dari orang
luar kampung malah ikut bergelar tikar, dan pada purnama ke dua puluhlah, kami
bisa melihat senyuman purnama di setiap jamaah pengajian juga anak-anak purnama
yang belajar mengaji.
Inilah
ketika Allah, berikan sebuah yang bernama hidayah, melaui tekad dan keyakinan,
semua jalan di permudah olehNya. Bersama Ghifar dan Shofi, berjuang berdakwah
bersama. “Permataku, biarlah aku diam dan kau diam, tentang sebuah Anugerah
itu, biarlah aku menjagamu dengan do’aku, sampai Allah ridho hari itu”. Kala
Shofi kan disampingku, dan menemaniku meneruskan dakwah dunia. Selama aku
berjuang bersamanya, dia begitu semangat menemaniku dan Ghifar. Senang, sedih,
di puji di maki, semua menjadi warna perjuangan. Kita kan perjuangi untuk bisa
bermanfaat bagi manusia di bumi ini.
*****************************************************************
SHOFI FIRDAUS |
14 MARET 2015
Komentar
Posting Komentar